src='https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js'/> Hijrahku Ke Jakarta (Novel Si Kulup Kun Bagian 2) - Aleniasenja.com

Hijrahku Ke Jakarta (Novel Si Kulup Kun Bagian 2)

Hijrahku Ke Jakarta (Novel Si Kulup Kun Bagian 2) - 2 bulan berlalu paska kepergian nenek dan kakekku, Sebelum kepergian mereka berdua, mereka pernah bercerita kepadaku jika mereka memiliki anak pertama yang merupakan kakak dari Ibuku yaitu paman aku memanggilnya, dan Beliau tinggal di Kota Jakarta. 
Hijrahku Ke Jakarta (Novel Si Kulup Kun Bagian 2)

Kakek dan Nenekku pernah bercerita, jika pamanku tersebut pernah berkata kepada mereka agar suatu hari kelak ada seseorang dari kampung yang bisa datang ke Kota Jakarta untuk menemui mereka. 

Teringat pesan nenak dan kakekku tersebut, aku menyampaikannya kepada orang tuaku tentang keinginanku untuk hijrah ke kota Jakarta dengan tujuan untuk menemui anak Almarhum nenek dan kakekku tersebut agar aku bisa melenjutkan pendidianku jika mereka mampu membiayaiku di kota Jakarta ini. 

Awalnya kedua orang tuaku tidak setuju dengan hal tersebut, kedua orang tua adu argument kembali untuk mengizinkan aku pergi ke kota Jakarta ini. Namun aku sendiri yang memberi mereka penjelasan jika aku arus berjuang untuk bisa mengeyam pendidikan yang lebih baik agar ke depannya aku juga bisa memberi yang terbaik bagi adik-adikku. 

Dengan berat hati, dan juga dengan perundingan yang rumit, pada akhirnya kedua orang tua dan keluargaku mengizinkanku pergi ke Jakarta ini untuk menemui pamanku yang telah lama merantau ke kota Jakarta ini. 

Mengenai pamanku ini, banyak orang kampungku bilang jika beliau adalah orang kaya dan juga sukses. namun belum diketahui dengan baik kebenarannya, apakah hal itu memang benar?, atau tidak?, Namun yang jelas saat itu orang kampunku dan juga keluargaku sendiri belum mengetahuinya dengan baik. 

Tepatnya pada tahun 2000, setelah aku menganggur selama 2 tahun setelah tamat SD pada tahun 1998. Aku berangkat ke Kota Jakarta ini untuk menjumpai pamanku tersebut. Aku ke Jakarta ini diantar oleh kedua orang tuaku dan juga adikku yang paling kecil saat itu. 

Keberangkatanku ke Jakarta ini tentunya menghebohkan masyarakat desa, ada yang suka dan ada jgua yang tidak menyukainya tanpa aku mengerti apa alasan mereka. Maklum pada saat itu masyarakat kampungku mendengar kota Jakarta sangatlah istimewa untuk dibicarakan dan mereka sangat ingin pergi ke Jakarta ini untuk sekedar ingin tau saat mereka melihat di TV begitu indah dan juga enak kehidupannya. 

Namun apapun yang terjadi, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk pergi ke Jakarta ini, Aku dan orang tuaku berangkat dengan menggunakan Bus antar kota antar provinsi kala itu dengan menempuh jarak dari kampungku ke Jakarta ini dalam waktu 2 hari 2 malam lamanya. 

Dalam perjalanan dari kampungku ke kota Jakarta ini banyak hal yang aku pikirkan. Hal yang aku pikirkan adalah, apakah pamanku memang orang kaya dan bisa menyekolahkan aku ketika aku berada di Jakarta nanti? atau tidak. Apakah benar seperti apa yang orang kampungku katakan?, atau hanya sebuah kebohongan belaka. 

Dan yang menjadi ketakutan terbesarku saat itu adalah, apakah aku bisa kembali ke kampung lagi dalam waktu dekat? atau aku akan tinggal untuk waktu yang begitu lama di Jakarta ini. 

Perasaan campur aduk dalam hati dan pikiran terus berkencampuk, namun kedua orang tua terus memberiku nasehat agar aku tenang dan apapun yang terjadi setelah ini, aku harus menjalani dengan baik dan juga sabar demi masa depanku kelak. 

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Kami berempat sampai juga ke kota Jakarta ini tepatnya di terminal Rawamangun kala itu. Aku turun dari Bus bersama orang tuaku dan juga adik kecilku. Aku tentunya sangat gembira dan senang bisa berada di Ibukota Indonesia yang biasanya hanya bisa dilihat di layar TV Hitam putih saja yang ada dibalai desa ketika menonton bersama masyarakat kampungku ketika malam tiba. 

Sampai di terminal Rawamangun, Pamanku sudah menunggu disana untuk menjemput kami untuk langsung menuju ke rumahnya. Perasaan curiga tentunya belum aku rasakan ketika aku bertemu dengan pamanku saat itu diterminal karena pada saat itu pula pamanku berpakaian sangat rapi seperti orang kaya dan juga sukses. 

Kami naik taksi saat itu untuk menuju ke tempat tinggal paman, dalam perjalanan menuju ke ruma pamanku, aku melintasi gedung pencakar langit yang berada di kota Jakarta ini. Tentunya merasa terkejut dan juga tidak bisa memindahkan perhatianku tertuju kagum akan mahakarya bangsa yang begitu mengagumkan hati karena maklum orang kampung sepertiku dan juga orang tuaku baru pertama kali melihat pemandangan indah seperti itu. 

Setelah melewati perjalanan 2 jam untuk sampai ke rumah pamanku, akhirnya kami pun sampai. Dilihat dari gerbang rumah pamanku memang begitu bagus, namun yang aku herankan saat itu adalah kenapa rumah pamanku berada ditengah makam tepatnya di sebuah pemakanan Tanah Kusir pada saat itu. 

Tak mau berpikiran buruk dan membuang semua anggapan itu dari pikiranku, Kami pun sampai dirumah paman sore hari, dan aku masuk ke gerbang, dan langsung menelusuri halaman yang begitu luas dan ditengah halaman yang luas tersebut terdapat sebauh batu besar yang bertuliskan sebuah nama yang tak asing bagi sejarah bangsa Indonesia ini yaitu seorang proklamator kemerdekaan Indonesia Bung Hatta. 

Aku jadi heran dan juga binggung, kenapa rumah paman berada disini, apakah dia seorang pejabat Negara atau bukan?. 

Aku melintasi tembok besar dan mengarah ke lorong kecil menuju ke belakang mushola dan disana terdapat sebuah kamar yang berukuran kecil, dan Pamanku berkata jika inilah tempat tinggalnya. Belum ada keheranan terbuka dibenak orang tuaku dan juga aku akan pekerjaan apa yang paman lakukan disana, yang jelas, kelelahan dalam perjalanan membuat kami lupa segalanya sehingga kamu istirahat dengan disuguhkan minuman dingin oleh pamanku dan juga istrinya yang juga tinggal disana. Pamanku dan istrinya memiliki satu orang putri saat itu yang masih kecil. 

Ketika malam menyambut, Kami berempat isitirahat di sebuah mushola disana, karena jika berada di dalam kamar tentu tidak cukup, maklum tempat tinggal pamanku sangat kecil. Malam harinya orang tuaku terus berpikir tentang keadaan pamanku di Jakarta ini. Begitu juga denganku, aku berpikir jika apa yang dikatakan oleh orang kampunku tentang pamanku di Jakarta ini adalah hal yang salah, ternyata pamanku hanya seorang penjaga makam pahlawan Bung Hatta dan jauh dari kata kaya dan juga sukses. 

Melihat kondisi tersebut, tentunya kedua orang tua berpikir untuk tidak menitipkanku saja bersama pamanku di Jakarta ini karena takut kemungkinan besar akan menambah beban pamanku saja dan juga aku tidak bisa sekolah di Jakarta ini dengan kondisi pamanku yang juga masih sulit dalam urusan ekonomi. 

Namun pamanku bersisih keras untuk mempertahankan hal tersebut dengan alasan, jika aku kembali lagi ke kampung, maka keluarga besarku akan merasa malu dengan orang kampung karena ternyata semua tidak sesuai denga perkiraan mereka dan anggapan mereka. 

Aku menjadi korban gengsi keluarga pada saat itu, namun mengikuti nasehat orang tuaku, akhirnya aku mau juga tinggal di kota Jakarta ini bersama pamanku. Sebenarnya sangat berat hati untuk aku terima tawaran itu karena aku merasa akan percuma jika semua tak sesuai dengan apa tujuanku untuk datang ke Jakarta ini, namun saat itu aku hanya berpikir baik, mungkin itulah jalan satu-satunya yang bisa aku tempuh jika aku ingin melanjutkan sekolah. 

Seminggu orang tuaku berada di Jakarta ini untuk mengantarkan aku, mereka kembali lagi ke kampung halaman bersama adikku. Tinggalkan aku sendirian yang masih rentan jauh dari kedua orang tua, keluarga dan sangat asing dengan dunia luar. Saat berada di rumah paman, Aku menjadi orang yang pendiam, tak bisa bahasa Jakarta dan sangat jarang aku bicara paska ditinggal kedua orang tuaku di Jakarta ini. 

Perlahan menelusuri waktu, aku berusaha untuk mencoba bertahan dan berjalan menelusuri hidup baruku di kota Jakarta ini bersama keluarga pamanku. Kegiatanku sehari-hari, dimana aku membantu pamanku membersihkan makam Bung Hatta dan juga makam yang menjadi rawatan pamanku untuk mencari rejeki guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Mengenai penghasilan pamanku juga tak menentu, kadang ada, kadang pula tiada tergantung ada orang yang ziarah ke makam tersebut. Jika ramai orang yang datang, maka pamanku akan mendapatkan uang, jika tidak ada yang ziarah, maka pamanku tidak mendapatkan pemasukan. 

Hari, minggu, bulan pun berlalu, bahkan tahun berganti, Tujuanku untuk bisa melanjutkan sekolah belum juga terdengar dari pamanku. Pamanku hanya sering marah-marah jika aku bertanya tentang hal itu. Jika pamanku marah, membuatku begitu sedih dan sangat terpukul jika pamanku begitu pemarah, bahkan ternyata seorang pecandu alkohol itu yang membuatku semakin takut kepadanya. 

Begitu sering di marahi oleh pamanku kadang tanpa alasan yang jelas, Membuat aku begitu ingin pulang kampung saja saat itu, namun saat itu aku tak memiliki uang untuk pulang dan jika harus meminta ke pamanku sudah pasti ia akan melarangnya untuk aku kembali ke kampung. Aku sangat rindu dengan kedua orang tuaku tanpa ada kabar dari mereka saat itu. 

Untuk mengubungi orang tuaku juga sulit karena tak ada alat komunikasi yang aku punya saat itu. Jika pun ada, hanya kabar dari surat yang dikirimkan oleh Ayahku tentang keadaan mereka disana dalam waktu yang sangat lama untuk aku terima. 

Hidup bersama Pamanku bukanlah waktu yang bahagia untuk aku jalani dan rasakan. Dimana setiap hari aku harus bangun pagi, membersihkan lingkungan makam, tidak boleh tidur siang, sangat pemarah dan juga karena pendapatkan paman sangatlah minim yang membuat aku kadang makan dan juga kadang hanya makan jambu biji yang berada di sekitar taman makam bung Hatta tersebut. 

1 Tahun berlalu, Akhirnya pamanku berkata kepadaku untuk memasukan aku ke sebuah sekolah swasta yang ada di kebayoran lama Jakarta Selatan bernama Al-Fajar. Aku merasa senang sekali karena aku bisa juga melanjutkan pendidikanku walaupun harus menunggu dalam waktu yang lama. 

Aku harus melewati waktu tiga tahun untuk bisa melanjutkan ke jenjang SMP lagi. Ada perasaan minder dan malu sebenarnya pada umurku sendiri ketika masuk sekolah lagi karena umurku saat itu tak sebaya lagi dengan teman-teman yang semua dibawah umurku saat itu. 

Namun perasaaan itu aku buang jauh-jauh dalam hati dan pikiranku karena pada saat itu yang aku pikirkan adalah jika aku harus memiliki pendidikan lebih demi masa depanku kelak. 

Rasa sedih, susah, gengsi dan malu aku lawan semuanya demi aku bisa melanjutkan pendidikanku saat itu. Semua harus aku taklukan demi apa tujuan untuk berada di Jakarta ini. Aku merasa, itu memang tidak mudah untuk aku lewati dan jalani, namun apapun yang menjadi daya beratnya selalu menjadi motivasi bagi diriku untuk meleluinya dan juga menjalaninya dengan baik dan juga semangat. 

Aku memulai masa pendidikannku di jenjang SMP, hal tersebut juga aku kabarkan kepada orang tuaku memalui surat saat itu. Alhamdulillah mereka sangat senang dan bahagia menerima kebar tersebut dan berharap aku bisa bertahan dan bisa menamatkannya. 

Kabar bahagia dari kedua orang tuaku dan juga keluargaku di kampun atas kabar tersebut aku terima dari balasan surat yang aku kirimkan kepada mereka kala itu. Dalam surat tersebut orang tuaku berpesan agar aku tabah dalam menghadapi kenyataan yang ada dan juga hidup yang aku harus dijalani. 

Membaca surat tersebut, tentunya rasa sedih dan rindu dalam hati hanya dapat aku lampiaskan dengan air mataku yang menetes tanpa aku sadari mengucur deras membasahi pipiku. Namun apapun itu, aku harus tetap tegar dan tabah dalam menghadapinya dengan tujuan yang pasti yaitu masa depanku akan menjawab semuanya suatu hari nanti.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel