Kepergian Ayahku (Novel Si Kulup Kun Bagian 3)
Rabu, 03 Oktober 2018
Kepergian Ayahku (Novel Si Kulup Kun Bagian 3) - 1 Tahun berlalu dalam aku menjalani masa pendidikanku di jenjang SMP, Aku menjalani dengan baik dengan berbagai bumbu rintangan dan cobaan. Walaupun begitu tak pernah menyurutkan semangatku untuk selalu berkata harus dan merasa yakin Jika Tuhan selalu memberiku jalan untuk bisa melaluinya.
Memasuki tahun kedua, Aku naik kelas 2 SMP dengan baik. Walaupun aku bukan termasuk siswa yang berprestasi, namun nilai yang aku dapatkan memuaskan hati. Memasuki tahun kedua dalam masa pendidikanku dibangku SMP, tentunya memberikan semangat yang lebih baik untuk bisa terus lanjut dan bisa lulus dengan cepat.
Masa dibangku kelas 2 SMP seperti biasa aku jalani, tak ada yang berubah, dimana keadaan ekonomi paman masih dalam tahap yang kurang baik, dan soal kebutuhan sehari-hari masihlah menjadi persoalan yang rumit dipecahkan dalam kehidupan paman di Jakarta ini.
Dengan keadaan ekonomi belum stabil, berdampak juga pada aku yang menjadi bagian dari Keluarga pamanku yang berada di Jakarta ini. Tak heran jika aku terkadang merasa malu dan juga patah semangat ketika uang sekolahku, paman tidak bisa melunasinya tepat pada waktunya.
Aku sering mengalami hal seperti itu dari kelas satu hingga lulus SMP, dimana saat ujian aku sering tidak bisa ikut karena harus mengurusi masalah pembayaran yang menunggak untuk beberapa bulan. Hal ini selama aku menjalani masa sekolah di bersama paman, sering terjadi.
Terkadang aku juga harus jalan kaki untuk menuju ke sekolah karena pada saat itu memang tak ada uang untuk bisa naik kendaraan. Walaupun jarak antara rumah paman dan sekolahku cukup jauh, namun aku jalani masa itu dengan suka rela karena aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa melewatinya dan lulus dari sekolah SMP tersebut.
Merasa sedih pasti, dimana saat anak-anak lain hidup serba berkecukupan dan nyaman dalama melewati hari, sementara aku setiap hari harus menahan lapar dan juga menempuh perjalanan yang jauh untuk bisa sampai di sekolah.
Jika Pamanku memberiku uang, aku bisa jajan di sekolah, namun jika tidak ada, aku harus merenenung dikelas menjelang waktu masuk kelas kembali. Sebenarnya aku merasa malu dengan pertanyaan teman-teman kelasku, namun apa boleh buat aku menjawab dengan jujur jika aku tak punya uang untuk jajan.
Karena temanku sangat baik kepadaku, jika mereka memiliki uang jajan lebih, mereka sering memberikannya kepadaku. Namun karena mereka begitu sering kasihan kepadaku dan memberi jajanan kepadaku, aku merasa malu dan terkadang aku harus menolak pemberian mereka dengan alasan jika aku sudah makan dirumah, padahal aku sedang lapar saat itu.
Jika Hari Jum’at tiba, itu menjadi pintu rejeki bagiku dan juga temanku yang bernama Syahroni saat itu. Sebab, Karena sekolahku dekat dengan masjid dan berdekatan dengan kantor, jadi banyak jemaah yang sholat jum’at disana. Jika banyak yang sholat jum’at, maka kami berdua menjadi petugas tempat penitipan sepatu dan jika ada yang berbaik hati, kami berdua akan mendapat uang jajan.
Ketika dirumah, Hal rutin yang aku lakukan setiap hari adalah waktu subuh aku sudah bangun, sholat subuh lalu membantu paman membersihkan lingkungan makam dengan membersihkan dedaunan yang berjatuhan dari pohon yang ada di sekitarnya. Setelah semua selesai, aku isitirahat sejenak lalu mandi untuk bisa berangkat sekolah.
Pada saat pagi, jika ada sarapan, maka aku sarapan, Jika tidak ada, maka aku hanya minum teh saja dan jika semua memang tidak ada, maka aku tidak makan-makan apa dari rumah menuju sekolah.
Begitu juga dengan ongkos, Jika diberi uang istri pamanku yang merupakan bibi bagiku, maka aku naik bus ke sekolah dan jika tidak ada, maka aku terpaksa jalan kaki menuju ke sekolah.
Jika jalan kaki, aku biasanya lewat belakang rumah paman dengan menelususuri rel kereta api arah kebayoran lama karena kebetulan sekolahku arahnya di dekat pasar kebayoran lama. Aku lewat rel kereta api dan juga perumahan warga yang ada disana untuk bisa menuju ke sekolahku saat itu.
Keadaan seperti ini sering aku lakukan, bahkan selama aku menjalani masa sekolah SMP Bersama pamanku. Setelah aku pulang sekolah, aku juga harus bekerja membantu paman dengan membersihkan lingkungan sekitar, dan seperti biasa juga, jika pada saat pulang sekolah, paman punya uang, maka aku langsung bisa makan, namun jika tidak ada, maka aku harus menahan diri dan terkadang aku hanya bisa makan Jambu Biji saja dalam seharian bahkan hingga esok pagi.
Aku sangat jarang untuk bisa isitrahat siang sehabis aku pulang sekolah, selain aku harus bekerja membantu paman, paman juga memiliki sifat yang galak dan tak mengizinkan untuk tidur siang, jadi aku sehabis pulang sekolah tak seperti anak pada umumnya bisa bermain dan juga tidur siang.
Di lingkungan paman juga aku tak memiliki teman, yang ada hanya taman makam dan juga orang yang lebih tua dariku saat itu, sehingga wajar saja jika aku memiliki teman orang dewasa saat itu. Jika mereka pulang, maka aku sendirian tinggal di lingkungan makan yang sepi. bagi mereka mungkin akan merasa takut berada disana, namun karena aku sudah lama dan terbiasa berada di tempat seperti itu, maka aku sudah kebal dengan rasa takut tersebut.
Pada saat aku menjalani masa pendidikan dibangku kelas 2 SMP ini, pada saat inilah aku harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Beliau adalah Ayahku tercinta. Aku harus kehilangan Ayah pada saat aku berjuang di negeri orang tanpa aku mampu melihatnya untuk yang terakhir kalinya.
Kabar kepergian Ayahku disampaikan oleh kakak dari Ibuku yang segaja datang ke Jakarta ini untuk menyampaikan pesan duka itu kepada paman dan aku. Mendengar kabar itu dari mereka, aku sebenarnya ingin kembali saja ke kampung halaman bersama mereka, namun pamanku tak boleh aku pulang dengan alasan yang tak aku ketahui dengan pasti.
Dalam keadaan yang teramat sedih untuk aku rasa, ditambah lagi dengan watak paman yang begitu pemarah yang sering memarahi aku, aku merasa jika aku harus kembali ke kampung halaman saja dan tak akan lagi meneruskan pendidikanku ini. Namun adik dari Ibuku yang datang ke Jakarta ini memberiku nasehat agar aku bertahan dan bersabar dan juga berserah diri kepada Allah SWT atas semua yang telah terjadi dan juga aku alami di Jakarta ini.
Ait mata ini sebenarnya tak mampu lagi aku teteskan karena sudah habis terkuras dengan kehidupan sulitku di kota Jakarta ini bersama pamanku. Apalagi saat itu Ayahku tercinta pergi meninggalkan aku, betapa terpukulnya aku. Namun apa boleh dikata, semua sudah menjadi ketentuan yang maha kuasa, dan aku hanya mampu berusaha menjalani hidup ini tanpa berpikir buruk kepada kehendak yang telah digariskan-NYA.
Setelah memberi kabar tentang ketiadaan Ayahku, Adik dari Ibuku pamit pulang ke kampung lagi. Jika saja saat itu aku bisa meminta, aku ingin sekali pulang bersama mereka untuk menjenguk ayah, paling tidak ditempat peristirahat terakhirnya. Namun itu tidak bisa aku lakukan karena memang keadaan sulit untuk bisa aku taklukan.
Aku memeluk adik dari ibuku ketika mereka pulang kembali ke kampung dan mereka memberiku nasehat jika semua akan baik-baik saja dan berpesan agar aku terus berusaha untuk bisa menjemput impianku untuk bisa sekolah ke jenjang yang lebih baik lagi nanti. Mereka memberiku semangat agar aku tak merasa sedih yang berkepanjangan ketika mereka pulang nanti
Kepergian Ayah memberiku ruang waktu tambah sulit untuk aku tanggung, dimana aku sering berpikiran tentang nasib Ibuku di kampung paska kepergian Ayah dan juga mengurusi adikku yang kasih kecil-kecil saat itu. Saat itu aku hanya mampu berdo’a tanpa bisa berbuat banyak untuk bisa membantu Ibuku di kampung untuk bisa melewati masa sulitnya tersebut.
Masa SMP, Aku harus kehilangan seorang yang teramat berarti dalam kehidupanku diatas dunia ini namun apapun itu, semua sudah menjadi kehendak yang maha kuasa dan aku harus menerima kenyataan itu dengan hati yang ikhlas dan juga selalu bersabar dalam menghadapi cobaan dan rintangan yang terjadi dalam hidupku.
Waktu yang aku arungi untuk bisa menyelesaikan pendidikanku di bangku SMP tentunya tak lepas dari hal yang biasa aku lakukan dan rasakan setiap hari dirumah pamanku, Namun aku selalu berpikiran jika aku akan mampu untuk melewatinya hingga aku lulus dari pendidikan SMP ini.
Alhasil, waktu memberiku celah dan tempat dimana saat aku naik kelas tiga, semua berjalan dengan baik walaupun keadaan masihlah sama. Aku naik kelas tiga SMP kala itu, aku semakin semangat agar aku bisa lulus dengan cepat dan bisa bekerja sendiri diluar rumah paman dan berharap, aku bisa pindah dari rumah paman dan tinggal bersama kakak sepupuku yang juga tinggal di Jakarta ini tepatnya di daerah kuningan Jakarta selatan.
Tiga tahun berlalu, akhirnya aku menyelesaikan pendidikan SMP dan lulus dengan nilai yang memuaskan. Sebenarnya pamanku menginginkanku untuk bisa bertahan bersamanya setelah aku lulus SMP untuk bisa mencari jalan agar aku bisa melanjutkan ke jenjang SMA, namun aku berpikiran hal itu tak mungkin bisa, karena melihat kondisi saat aku masih menjalani masa SMP saja seakan paman tidak mampu membiayaiku, apalagi pada saat itu anaknya juga ingin masuk sekolah sudah pasti memerlukan biaya lebih banyak.
Tak mau menjadi keadaan paman menjadi lebih sulit dengan kehadirannya aku dirumahnya, Maka aku memilih untuk bekerja sendiri bersama kakak sepupuku saja walaupun saat aku ingin pindah ada pertentangan dengan paman, namun karena kakak sepupuku menjelaskan sehingga aku bisa pindah dari tempat paman ke tempat kakak sepupuku untuk bekerja dengan mandiri.
Berharap dengan aku bekerja sendiri dan berada di dekat kakak sepupuku itu, aku bisa belajar menjadi diri yang mandiri dan juga berharap juga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dengan biaya sendiri nantinya.