Ciri Istri Salihah Tidak Meminta Nafkah Berlebihan Kepada Suaminya
Kamis, 21 Januari 2021
Tulis Komentar
Istri salihah adalah tidak menyulitkan suami dengan nafkah. Maksudnya adalah istri tidak berlebihan meminta nafkah diluar batas kemampuan suami. Istri yang berada di luar kewajaran nafkah misalnya terlalu ingin bermewah-mewah, terlalu ingin berpakaian dengan pakaian yang mahal-mahal, terlalu ingin tinggal di rumah megah.
Ustaz Ahmad Zainudin dalam kajian onlinenya tentang 'Risalah Penting untuk Muslimah' karya Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr Hafidzahullah, di salah satu kanal dakwah Islam menjelaskan istri yang salihah tidak meminta kepada suami akan hal tersebut.
Dan tidak menjadi alat untuk berlebih-lebihan terhadap penghambur-hamburan harta suami. Tetapi dia tetap sederhana sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Artinya : “Dan orang-orang yang jika bersedekah, dia tidak berlebih-lebihan dan tidak mendatangkan sifat melampaui batas, tetapi di antara hal itu, yaitu dia tegak di tengah-tengah.” (QS. Al-Furqan: 67)
Coba kita perhatikan di dalam perkara ini apa yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu dan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam suatu saat berkhutbah dengan sebuah khutbah yang beliau panjangkan di dalam khutbah tersebut.
Beliau menyebutkan didalamnya perkara dunia dan akhirat . Lalu beliau menyebutkan bahwa pertama kali yang menghancurkan Bani Israil adalah ada seorang perempuan miskin dan dia terlalu membebani dirinya dengan pakaian dan juga perhiasan sebagaimana seorang perempuan yang kaya.
Dari hadis itu, dijelaskan ada wanita miskin ingin seperti wanita yang kaya. Akhirnya dia memaksakan diri dalam penampilan. Ini salah satu penyebab hancurnya Bani Israil. Maksudnya mereka terhempas dari jalan yang benar, mereka tidak melakukan sesuai dengan petunjuk agama.
Lalu Rasulullah SAW menyebutkan bahwa ada seorang perempuan dari Bani Israil yang badannya pendek. Dia mengambil sepatu berhak tinggi (high heels) dan dia memakai cincin yang di dalam cincin tersebut ada semacam penutup yang diberi minyak wangi. Lalu perempuan ini berjalan di antara dua perempuan yang tinggi dan yang besar-besar. Karena dia menggunakan high heels, sehingga tingginya sama. Jadi hanya untuk sebatas penampilan.
Lalu Bani Israil mengutus seseorang untuk mengikuti perempuan yang tiga tadi; dua benar-benar tinggi dan yang satu pendek tapi menggunakan high heels. Seseorang yang mengikuti ini tidak mengikuti bahwa salah satu di antara tiga wanita itu tidak tinggi sebenarnya.
Maka yang pertama kali menyebabkan hancurnya Bani Israil adalah seorang wanita miskin yang dia membebani suaminya dengan perhiasan-perhiasan sebagaimana yang dipakai oleh wanita-wanita kaya ketika meminta kepada suaminya.
Kemudian perhatikan apa yang dilakukan oleh wanita miskin yang pendek ini. Yaitu berupa terlalu berlebih-lebihan, terlalu foya-foya, menghambur-hamburkan harta dibarengi dengan penipuan dan tidak puas dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah takdirkan untuknya.
Dan alangkah samanya sepatu-sepatu hak tinggi di zaman sekarang dengan yang tadi disebutkan. Memang asal hukum sepatu tinggi boleh saja dipakai. Tetapi lebih baik dijauhi, karena:
- Menunjukkan seseorang tidak puas dengan pemberian Allah
- dia menyerupakan diri dengan wanita-wanita Bani Israil.
- Dia menyerupakan diri dengan wanita-wanita yang pada zaman itu terkenal dengan wanita-wanita pelacur.
- dia juga tidak sesuai dengan kesehatan.
- Dan telah datang dalam komite tetap untuk fatwa apa yang disebut, yaitu memakai sepatu hak tinggi tidak diperbolehkan.
Karena hal ini menyebabkan seorang perempuan terjatuh. Dan seorang manusia diperintahkan oleh syariat untuk menjauhi bahaya-bahaya dengan semisal keumuman firman Allah SWT :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik..” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dan termasuk hal yang terlarang juga dari pemakaian sepatu hak tinggi adalah dia memperlihatkan tinggi dan pinggulnya perempuan yang lebih banyak daripada semestinya. Di dalam hal ini terdapat penipuan dan memperlihatkan sebagian keindahan dirinya yang seorang perempuan dilarang untuk memperlihatkannya.
Kita kembali kepada masalah asal. Bahwasanya seorang perempuan tidak menyulitkan suami dalam perihal nafkah. Memang kita tahu bersama bahwasanya nafkah adalah wajib atas suami.
Memberikan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan seluruh yang diperlukan oleh istri untuk hidupnya. Dan seorang suami bisa menjadi pemimpin di rumah tangga apabila dia memberikan nafkah dengan baik kepada istrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar..” (QS. An-Nisa: 34)
Maka berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan juga logika, bahwa suami wajib menafkahi. Tetapi harus diingat baik-baik, bahwasanya kewajiban menafkahi istri adalah sesuai dengan kelapangan suami.
Imam Al-Baghawi di dalam kitab beliau Syarhus Sunnah mengatakan, bahwa Imam Al-Khattabi mengatakan:
“Di dalam ayat ini dan hadits-hadits tentang wajibnya menafkahi istri, terdapat kewajiban menafkahi dan memberikan pakaian kepada istri sesuai dengan kemampuan suami.”
Jadi menafkahi istri sesuai dengan kemampuan suami, bukan sesuai dengan kehendak istri. Semoga ulasan diatas dapat dipahami dan menjadi manfaat untuk kita semuanya, terima kasih.
Belum ada Komentar untuk "Ciri Istri Salihah Tidak Meminta Nafkah Berlebihan Kepada Suaminya"
Posting Komentar