src='https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js'/> Cerpen - Hujan, Aku Titip Rindu Untuknya - Aleniasenja.com

Cerpen - Hujan, Aku Titip Rindu Untuknya

Hujan, Aku Titip Rindu Untuknya - Semenjak hari itu, Setiap hujan turun menyirami bumi, aku selalu berkata jika itu adalah wujud lain darimu yang pernah singgah dalam cerita hidupku. Walaupun itu tak menjadi kenyataan memilikimu, Aku berharap kau disana tak pernah bertanya kepadaku, kenapa aku lebih menyukai hujan, daripada menyukaimu. 
Cerpen - Hujan, Aku Titip Rindu Untuknya

Jika pertanyaanmu seperti itu, sebenarnya kau sendiri sudah memiliki jawabannya, yaitu tentang rasa yang aku punya ini tak sampai menjadi kenyataan memilikimu. Kau juga tentunya sudah mengerti, kenapa aku melakukan ini hanya untuk bertemu denganmu. Melalui perantara hujan, aku jadikan kau seakan nyata, agar rindu tak lagi mengingat kenangan sedih itu ketika kau pergi meninggalkanku saat itu. 

Aku berharap juga, hujan tak merasa risih dengan prilaku anehku ini terhadapnya, dimana saat hujan turun aku sering merasa jika itu bukan hujan yang turun, namun air mata kesedihanku yang pernah tumpah disaat itu, di saat kau tak lagi mampu kusapa seperti biasanya, tak mampu lagi aku lihat senyummu seperti hari-hari sebelumnya dimana aku begitu bahagia berkat semangat yang selalu kau sampaikan lewat kata cinta dan kasih sayang darimu. 

Aku juga tak menyangka hal itu bisa terjadi, dan begitu cepat berlalu dalam hidupku. Taukah kamu, jika aku begitu sulit untuk meredam kesedihanku saat itu, di saat aku menyelesaikan tugas terakhir kuliahku, di saat aku melaksanakan sidang skripsi di depan para dosen, di waktu yang bersamaan kau berucap janji di depan penghulu dengan seseorang yang kau pilih dirinya untuk mengarungi hidup bersamamu. 

Air mataku menetes tak mampu aku tahan saat itu, bukan karena aku tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh tim penguji skripsiku, namun aku meneteskan air mata karena teringat dirimu yang begitu tega membiarkan aku sendirian dalam kondisi sangat membutuhkan orang yang memberiku semangat dan kau meninggalkan aku dalam posisi berjuang demi menggapai cita-cita dan cinta bersamamu. 

Aku meneteskan air mata bukan karena aku merasa takut dengan kemarahan dosen penguji skripsiku karena kurang baik dalam penyusunannya, bukan itu. Aku meneteskan air mata karena setelah selesai aku berjuang menyelesaikan pendidikan terbaikku, aku tak akan bisa lagi bertemu denganmu, menyapamu lagi karena kau telah menikah dengan orang lain, dan tak mungkin aku bisa leluasa bicara seperti dulu lagi. 

Rasanya aku tak ingin menyelesaikan sidangku saja dengan kelulusan saat itu. Aku tak mau meneruskan perjuanganku untuk bisa menjadi sarjana saat itu. Bukan karena aku tak mampu menyelesaikannya dan membiayai semua pendidikanku, Hanya saja aku kehilangan semangat dari seseorang yang telah mengantarkan aku pada posisi tersebut, namun tak mampu aku pertahankan dengan hasil bahagia setelah lulus kuliah bisa mengikat janji suci bersamamu. 

Taukah kamu, Saat itu aku begitu terpukul dengan keadaan yang aku alami. Semua teman merasa bahagia di saat kelulusan skripsi diumumkan, namun apa yang terjadi pada diriku sangatlah berbeda. Dimana aku terlihat begitu kesepian ditengah keramaian, yang ada hanya murung dan sedih yang membuat semua seakan tak berarti apa-apa jika kau telah pergi meninggalkan setia yang aku pertahankan dengan susah payah dalam menempuh pendidikan jauh darimu. 

Aku sangat berharap saat aku wisuda, kau hadir menemaniku, namun hal itu tak terjadi. Aku sendirian menantimu datang, namun kau tak datang, yang ada hanya semu dalam kesedihanku kala itu, aku begitu sedih merayakan wisudaku tanpa ada sedikit senyum menaungi wajahku. 

Aku seakan kehilangan sesuatu dari hidupku yang teramat berarti dan berharga. aku lemah, aku kalah dan aku seperti tak memiliki apa-apa lagi ketika kenyataan yang ada memang kau telah pergi tanpa permisi tinggalkan aku yang begitu rentan akan kehilangan kasih sayang darimu. 

Seadainya saja aku bisa menahanmu saat itu, seandainya saja aku berada di dekatmu saat itu, seandainya saja aku bisa bertemu denganmu saat itu, maka akan aku cegah tanganmu di lingkari cincin darinya. namun aku tak bisa, aku berada jauh darimu, dan pada akhirnya aku harus bisa merelakan kehilangan semuanya dirimu, cinta, kasih sayang dan masa depan lenyap sudah untuk selamanya. 

Kehilanganmu dalam hidupku seakan aku seperti raga yang berjalan namun tak memiliki jiwa, seakan aku hanya hidup namun tak memiliki rasa. Aku hampir punah dari peredaran bumi ini, ketika aku sadar jika kau memang tak lagi dapat aku temukan. aku berusaha menelponmu dan mengirimkan pesan singkat seperti hari sebelumnya, namun jawabannya selalu sama, terdiam membisu tanpa sehelai kata pun datang memberiku jawab tentangmu yang ku tau sangat mencintaiku. 

Hal yang paling menyesakan dada adalah dimana dalam seminggu sebelum kau memutuskan untuk meninggalkanku, hubungan kita baik-baik saja tanpa ada tanda tanya dan perselisihan yang membuatmu pergi dan berniat untuk meninggalkan aku di saat hari dimana aku akan sidang skripsi. 

Aku dan kau bicara lewat telpon seperti biasa, dan kau tertawa lepas seperti apa yang aku kenal sejak dulu. Kau bahagia, kau riang dan kau masih memberiku semangat seperti biasanya. Namun dua hari sebelum sidang skripsiku berlangsung, aku mencoba menghubungimu, namun tak ada jawaban, pesan singkat pun kau tak membalasnya. 

Aku panik dan bertanya dengan teman di kampung untuk memastikan jika kau baik-baik saja. Dalam keadaan panik menunggu jawaban tentang kabar dirimu. Pada malam harinya, dimana esok harinya adalah hari sidang skripsiku, temanku memberi kabar kepadaku jika kau telah dilamar oleh seseorang yang tak aku kenal siapa dia yang telah berani tebar pesona kepadamu sehingga hatimu mampu luluh hingga jatuh dalam pelukannya. 

Dalam kondisi tersebut, aku belum percaya jika kau akan menerima lamaran itu. Dalam keadaan panik aku terus mencari jawaban yang pasti tentang kebenaran informasi tersebut. Aku berusaha untuk bisa tenang agar tidak mempengaruhi sidang skripsiku esok harinya. 

Namun aku tak bisa tenang, semalaman suntuk aku tak bisa tidur, aku tak mampu tenang juga. Pada akhirnya aku menelpon Ibuku agar aku mengerti dan memahami jika hal itu memang benar-benar terjadi dalam hidupku. 

Aku juga menelpon adikku yang berada di kampung untuk mengetahui kebenaran itu tentang kau yang begitu cepat berubah rasa dariku ke orang lain. Setelah aku menelpon, jika informasi tersebut memang benar adanya, dimana kau akan menikah dalam waktu dekat, dalam waktu yang bersamaan di hari sidang skripsiku. 

Sepertinya kisahku ini telah diatur saja dan seperti sebuah sinetron kejadian ini terjadi dalam hidupku. Namun kenyataannya memang seperti itu adanya. Mendengar penjelasan dari adikku tersebut, aku seakan tak mampu berbicara lagi, jika kau memang tega berbuat seperti itu kepadaku yang begitu inginkan bahagia hidup bersamamu setelah aku menyelesaikan pendidikanku ini. 

Aku masih teringat dimana kau selalu berkata jika aku harus menyelesaikan pendidikanku hingga sarjana dan kau tak akan mengecewakanku dengan setia yang kau titipkan dalam hatiku. Aku mempercayai ucapanmu, aku semangat karena tak ada tujuan lagi dalam hidupku selain kau yang bisa memberiku arti yang sesungguhnya. 

Kau selalu berkata jika kau akan setia dalam penantian, dan kau selalu bilang jika aku adalah orang yang selalu kau tunggu kehadirannya dalam hidupmu, namun ucapanmu itu menghilang begitu saja ditelan dusta yang begitu menyakitkan bagiku. 

Malam itu aku tak mampu tenang dan tak mampu memejamkan mata. walaupun esok harinya aku harus bangun pagi untuk mengikuti sidang skripsi, namun tetap saja rasa kecewa yang aku rasakan saat itu mengalahkan segalanya. aku seakan hidup di negeri mimpi, dimana saat yang bersamaan, aku dihadapkan dengan masalah yang sulit. 

Di tengah heningnya malam, aku duduk sendirian, pikiranku terbang melayang ke negeri langit untuk meminta pengadilan cinta atas luka yang kini begitu menyakitkan hati. Aku bersujud kepada-NYA dalam do’aku berharap, jika apa yang sedang aku rasakan ini merupakan cobaan dan rintangan yang membuat aku harus belajar untuk menerima kehilangan sesuatu yang teramat berharga dalam hidupku. 

Dalam do’aku, air mata ini tak mampu aku hentikan menetes deras hingga membasahi pipi dan juga bajuku. Aku menangis sejadi-jadinya sendirian dihadapan-NYA. Aku menjadi pria yang begitu cenggeng dan begitu rentan dengan kesedihan pada malam itu. Aku duduk semalaman di tempat sujudku hingga pagi hari. Entah aku tertidur atau tidak, yang jelas, hingga pagi datang, aku masih berada di tempat yang sama. 

Ketika pagi menjelang, aku teringat jika hari itu aku akan melaksanakan sidang skripsi. aku bergegas mandi, sholat subuh dan berpakaian rapi seperti apa yang ditugaskan oleh kampusku untuk mengikuti sidang skirpsi hari itu. 

Aku berangkat bersama temanku untuk datang ke kampus waktu itu guna melaksanakan sidang skripsi kelulusan. Temanku sempat bertanya, kenapa mataku merah merona seperti habis menanggis, dan aku menjawabnya, jika aku tak bisa tidur semalaman karena memikirkan sidang skripsi tersebut, padahal aku berbohong kepadanya jika mataku merah bukan karena begadang, namun karena air mata yang mengalir terus menerus pada malam harinya karena rasa kecewa darimu. 

Sampai di kampus, aku langsung menuju ruang tunggu sidang skripsi. Di sana sudah begitu ramai teman-teman yang ikut sidang sudah bersiap untuk menunggu giliran panggilan panitia sidang. Aku masuk dengan hati yang begitu gelisah dan juga sedih, gelisah karena hari ini aku harus menghadapi sidang skripsi dan sedih karena pada hari yang bersamaan aku harus ikhlas merelakan dirimu pergi tinggalkan aku untuk hidup bersama orang lain. 

Aku menjadi seorang pendiam saat itu, tak seperti biasanya dimana aku begitu anti dengan dengan suasana hening tanpa ada canda tawa di dalamnya. Namun tidak dengan hari itu, aku lebih banyak melamun seakan apa yang sedang terjadi bukan aku yang mengalaminya. 

Aku duduk di bangku paling belakang untuk menunggu gilaran untuk melaksanakan sidang skripsi. Sikap diamku menimbulkan pertanyaan di hati teman-temanku semuanya yang ada di ruangan tersebut, namun pertanyaan mereka selalu aku jawab jika aku sedang panik untuk menghadapi sidang skripsi. 

Sesekali aku keluar untuk ke toilet hanya sekedar melepas gundahnya hati akan kesedihanku saat itu begitu pekat terasa menyelimuti ruang hati dengan kabut luka yang begitu dalam. Aku masih saja meneteskan air mata, namun saat aku masuk ruangan kembali, air mataku tak terlihat kembali. 

Tiba juga giliranku untuk sidang skripsi yang telah aku susun selama 6 bulan berlalu. Aku masuk ke ruangan sidang dan terlihat telah berada tim penguji dan juga dosen pembimbing yang siap menghajarku dengan pertanyaan-pertanyaan cerdiknya. 

Aku membuka rangkuman skripsiku di notebook yang sudah tersedia, lalu membacanya dengan cepat tanpa berpikiran hal yang buruk. Aku berupaya untuk tenang dan fokus dengan apa yang sedang aku lakukan saat itu, walaupun berat untuk aku taklukan luka hati yang sedang menimpaku, namun aku berusaha untuk tegar jika semua akan baik-baik saja dan segera berlalu hingga masa kuliahku tak berantakan dengan tidak lulus kuliah nantinya. 

Selesai semua apa yang ingin aku sampaikan kepada dosen penguji dan orang yang berada di dalamnya, aku mempersilakan mereka untuk bertanya tentang skripsi yang aku susun tersebut. Alhamdulillah, mereka bertanya sesuai dengan apa yang aku tau dan aku pun tak begitu sulit untuk menjawabnya. 

Ketika aku dan dosen penguji menyatakan selesai dan memberiku nilai bagus pada saat itu dan aku dinyatakan lulus, aku meneteskan air mata, antara bahagia dan juga sedih. Bahagia karena aku bisa lulus dan menjadi sarjana, namun ada kesedihan yang teramat mendalam aku rasakan saat itu, dimana hari itu adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupmu, dimana kau telah berucap janji suci untuk hidup bersama dengan cinta lain. 

Selesai sidang, dimana teman-teman yang lulus merayakannya, namun tidak denganku. Aku terdiam kaku di dalam mushola kampusku. aku duduk dalam do’a mengucapkan terima kasih dalam sujudku kepada sang pencipta telah memberiku kelulusan dalam menempuh pendidikanku. 

Aku juga masih saja meneteskan air mata saat itu, aku binggung harus bagaimana lagi harus menyampaikannya kepada dunia jika aku saat itu memang benar-benar sedih. Taukah engkau, aku selalu bermimpi jika saat kelulusan ini, orang yang pertama yang ingin aku kabarkan adalah kamu, namun itu tak sesuai dengan rencana, aku tak bisa melakukannya. 

Selesai aku duduk termenung tanpa ekspresi gembira, aku pamit kepada teman-teman semua untuk pulang ke kostku saja. Aku pulang, aku sedih dan aku seperti tak memiliki semangat atas apa yang telah aku raih dalam pendidikanku. 

Sampai di kost, aku meneteskan air mata kembali, meneteskan air mata tentang kamu yang begitu aku tunggu sejak lama untuk bisa hidup bersama setelah kelulusanku ini. Namun kenyataan yang ada itu hanya omong kosong berlalu tanpa arti. 

Malam harinya, Aku masih saja tak mampu tidur, aku berdiri di depan kamar kostku menatap langit, dan tanpa aku sadari hujan malam itu turun dengan derasnya, seakan langit mengerti apa yang sedang aku rasakan malam itu. 

Aku menatap setiap helai rintinkan hujan itu terjatuh dari langit dengan kesedihan yang luar biasa. Setiap rintikan hujan yang turun aku menyampaikan sebuah kalimat agar apa yang sedang aku rasakan dapat di dengar oleh bumi. Aku menyampaikan pesan rindunya hati dan ingin berkata kepadamu, jika aku sangat merindukanmu dan sangat terpukul atas kepergianmu. 

Aku menyampaikan pesan kepada hujan malam itu agar ia dapat berkata kepadamu, jika aku telah mengikhlaskanmu bahagia bersama orang lain. Aku berkata, jika aku tak akan pernah menyimpan benci, rindu dan cinta kembali yang tertulis atas namamu lagi, karena pada malam itu semuanya telah aku titipkan kepada hujan. 

Aku menangis sejadi-jadinya, dimana aku harus melepaskan seseorang tanpa ia mengetahui dan melihat saat aku berucap sendirian di tengah malam dalam hujan yang begitu deras. Saat itu aku telah merelakan semua pergi dariku, aku telah menyatakan jika aku tak akan pernah menyatakan jika kaulah yang salah telah meninggalkanku. namun aku lebih mengutamakan diriku tak terbelenggu dengan keadaan yang terjadi agar dapat mengerti jika itu sudah kehendak yang maha kuasa jika kita memang bukan untuk hidup bersama, kita hanya memiliki kisah yang sama namun memiliki tempat yang berbeda untuk merajut bahagia. 

Hujan malam itu turun sampai pagi seakan menemani kesedihanku malam itu yang duduk sendiri tanpa ekspresi. Aku duduk hingga subuh menjelang, dan hujan menjadi saksi jika aku pernah mengatakan sesuatu kepadanya, tentang seseorang wanita yang sangat aku cintai dalam hidupku. 

Saat Adzan subuh berkumandang, aku bergegas mengambil wudhu di iringi dinginnya waktu itu karena memang hujan belum juga reda. Aku melaksanakan sholat subuh dan mendo’akanmu agar kau hidup bahagia bersamanya, dan dapat membina rumah tangga yang mawadah dan warrohmah. 

Aku juga berdo’a agar kau tak merasa takut jika aku membencimu, dan jangan pernah merasa segan atau malu jika suatu saat nanti kita bertemu untuk saling menyapa. Aku tak pernah menanamkan sikap itu dalam diriku, aku adalah aku, aku yang pernah kau kenal dulu, dimana aku tak akan pernah ada niat untuk membencimu atas luka yang kau tinggalkan dalam hatiku. 

Memang butuh waktu untuk aku menyembuhkan luka itu dalam hatiku. namun perlu kau ketahui, jika aku tak akan pernah melakukan hal yang jahat atas dirimu, walaupun itu tak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan terhadapku. 

Sejak malam itulah aku telah menyerahkan semuanya kepada hujan. aku telah mema’afkan diriku sendiri dan juga dirimu seutuhnya. Bersama hujan, aku telah menyimpan semua kisah dan cerita yang pernah terjadi antara aku dan kau. Itulah alasannya ketika turun hujan, seakan aku bertemu denganmu saja dalam wujud yang beda, aku harap kau tak mengetahuinya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel